Matahari menampakkan kobaran apinya
yang menyayat kulit. Angin bertiu dengan
santainya seakan tak peduli dengan kobaran api yang murka. Burung-burung
berteduh akan panasnya terik matahari, menghirup oksigen dibawah pohon rindang.
Bel berbunyi tanda jam sekolah telah usai.
Siang ini
tak seperti biasanya, aku harus berdesakan, bermandikan peluh dan juga
berpegangan erat pata tiang yang sudah dimakan oleh waktu supaya badanku ini
tak terjatuh ketika pak sopir memberhentikan kendaraanya dengan mendadak. Bus
melaju dengan kecepatan sedang, seakan tak peduli dengan urusan penumpang yang
sedang dikejar oleh waktu.
Tiupan angin yang masuk melalui
celah-celah kaca jendela bus, sedikit meringankan bebanku ketika harus berdesakan. Ketika bus
itu berhenti tanda ada orang yang ingin
menaiki dan ada pula yang ingin berhenti disitu atau turun. Dengan mengatakan
‘kiri pak’ atau menyebutkan tempat yang dituju, maka pak supir perlahan-lahan
akan mendorong rem hingga bus itu terhenti.
Ketika ada
yang masuk, sang kernet yang membantu tugas pak supir untuk mengambil uang
bayaran pun datang menghampiri penumpang tersebut. Saatku naik dan ketika itu
pula aku dihampiri oleh sang kernet, seperti biasa ia meminta uang bayaran.
Lalu ku merogoh uang yang ada di saku baju. Ku keluarkan uang Rp. 2.000,00 dan
ku berikan kepada kernet tersebut. Entah mengapa, uangku yang Rp. 1.000 tak
kunjung diberikan padaku.
Hingga tiba
saatnya ku harus menapakkan kakiku diatas aspal, uang itu tak kunjung kembali.
Dalam hatiku terselip rasa iklas dan juga kecewa. Namun, terselip juga rasa iba
ku kepada kernet itu. Bayangkan saja, ia telah bekerja dari pagi-pagi hingga
sore. Dengan kerja keras itu, mereka hanya diberi upah yang tiada setara dengan
peluh yang mereka keluarkan. Tak hanya hingga sore,ada juga yang harus bekerja
hingga bulan dan bintang menampakkan jati diri mereka, kerlap-kerlip lampu
serempak menyala.
Dinginnya malam menusuk tulang rusuk, tak mereka
hiraukan. Hanya nafkah dan nafkah yang mereka pedulikan. Hanya setoran dan
setoran yang mereka kejar. Tak peduli dengan peluh yang mereka keluarkan, yang
terpenting bagi mereka hanyalah nafkan dan setoran saja.