Cari Blog Ini

Kamis, 29 November 2012

Keiklasan yang Bersyarat



Matahari menampakkan kobaran apinya yang menyayat kulit. Angin bertiu dengan  santainya seakan tak peduli dengan kobaran api yang murka. Burung-burung berteduh akan panasnya terik matahari, menghirup oksigen dibawah pohon rindang. Bel berbunyi tanda jam sekolah telah usai.
            Siang ini tak seperti biasanya, aku harus berdesakan, bermandikan peluh dan juga berpegangan erat pata tiang yang sudah dimakan oleh waktu supaya badanku ini tak terjatuh ketika pak sopir memberhentikan kendaraanya dengan mendadak. Bus melaju dengan kecepatan sedang, seakan tak peduli dengan urusan penumpang yang sedang dikejar oleh  waktu.
Tiupan angin yang masuk melalui celah-celah kaca jendela bus, sedikit meringankan  bebanku ketika harus berdesakan. Ketika bus itu  berhenti tanda ada orang yang ingin menaiki dan ada pula yang ingin berhenti disitu atau turun. Dengan mengatakan ‘kiri pak’ atau menyebutkan tempat yang dituju, maka pak supir perlahan-lahan akan mendorong rem hingga bus itu terhenti. 
            Ketika ada yang masuk, sang kernet yang membantu tugas pak supir untuk mengambil uang bayaran pun datang menghampiri penumpang tersebut. Saatku naik dan ketika itu pula aku dihampiri oleh sang kernet, seperti biasa ia meminta uang bayaran. Lalu ku merogoh uang yang ada di saku baju. Ku keluarkan uang Rp. 2.000,00 dan ku berikan kepada kernet tersebut. Entah mengapa, uangku yang Rp. 1.000 tak kunjung diberikan padaku.
            Hingga tiba saatnya ku harus menapakkan kakiku diatas aspal, uang itu tak kunjung kembali. Dalam hatiku terselip rasa iklas dan juga kecewa. Namun, terselip juga rasa iba ku kepada kernet itu. Bayangkan saja, ia telah bekerja dari pagi-pagi hingga sore. Dengan kerja keras itu, mereka hanya diberi upah yang tiada setara dengan peluh yang mereka keluarkan. Tak hanya hingga sore,ada juga yang harus bekerja hingga bulan dan bintang menampakkan jati diri mereka, kerlap-kerlip lampu serempak menyala.
Dinginnya malam menusuk tulang rusuk, tak mereka hiraukan. Hanya nafkah dan nafkah yang mereka pedulikan. Hanya setoran dan setoran yang mereka kejar. Tak peduli dengan peluh yang mereka keluarkan, yang terpenting bagi mereka hanyalah nafkan dan setoran saja.